Thursday 21 February 2013

Cerpen 2011 : Karena Hidup Harus Terus Berlanjut









Karena Hidup Harus Terus Berlanjut




Tuhan ..
Hari ini aku tak dapat.
Hari ini aku tak siap.
Hari ini kurasakan akan begitu sulit.

Langkahku mulai memasuki gerbang sekolah. Aku berjalan tanpa gairah. Ketika melewati lapangan utama, sepasang indera penglihatanku mendapati sebuah panggung besar yang telah berdiri. Aku tak menghiraukannya dan terus berjalan menuju kelas. Setibaku dibibir pintu kelas, aku menatap seisi ruangan telah dipenuhi teman-teman sekelasku. Canda dan tawa mereka terlihat begitu jelas untuk menyambut dirgahayu sekolah hari ini. Sayangnya, tidak denganku.

“Hai Nadia!” seseorang menyapaku, seakan membuyarkan lamunan singkatku. Aku-pun tersenyum.
Kuletakkan tas diatas meja dan duduk didekat Dinda.
“Baik-baik saja kan?” tanya Dinda sambil mendekatkan wajahnya tepat ke wajahku.
“Tentu.” jawabku singkat sambil tersenyum.
“Yaudah yuk ke lapangan, sebentar lagi pensi dimulai.” ajak Dinda seraya bangkit dari tempat duduknya.
“Hhh…” aku hanya mendesah dan membiarkan wajahku jatuh keatas meja.
“Kenapa? Ayooo…”
Tak sabar menungguku yang masih enggan, Dinda langsung menarik lenganku dan aku-pun mulai beranjak bangkit dari tempat duduk. Kami-pun berjalan menuju Lapangan.

Berjalan menelusuri koridor , mataku menatap langit yang begitu cerah. Kuhirup udara pagi ini yang kurasakan begitu sejuk. Dan berkata dalam hati, semoga hari ini akan baik-baik saja.

Di setiap sudut lapangan telah dipenuhi para murid yang sedang menantikan dimulainya pensi.
“Duduk disini aja ya!” Dinda menunjuk sebuah bangku yang masih kosong didekat sebuah pohon, posisinya menghadap ke panggung yang tentunya akan memudahkan kami untuk melihat pensi meskipun dari kejauhan.
Aku hanya mengangguk.

Tepat pukul 08.00 acara pensi dimulai.
Perasaan yang tadinya kalud sedikit terlupakan setelah Dinda memberikan sebuah novel untukku. Kalaupun aku tidak ingin melihat acara pensi, aku masih bisa membaca novel sambil menemani Dinda yang mulai kemarin sangat antusias untuk melihat pensi ulangtahun sekolah.

Aku menyebarkan pandangan ke seluruh lapangan. Kemudian tenggelam dalam pikiran yang mulai melayang. Mengingat semua hal yang terjadi di acara ulangtahun sekolah tahun kemarin. Dimana aku masih dengannya.. Ya, masih dengan seseorang yang cukup berarti dihidupku. Namun, keegoisanku telah membuatnya kini bahagia dengan oranglain, membuatku harus menerima apapun yang terjadi.

“Nadia, bisakah kau tidak melamun untuk hari ini?” suara Dinda lagi-lagi membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh kearahnya. “O..oh.. Maaf Dinda, aku tidak melamun. Hanya…”
“Hanya ingin berimajinasi.” Dinda melanjutkan.
“Ya.. Mungkin..” jawabku sambil memalingkan wajah, kemudian menunduk dan membuka novel yang ada dipangkuanku.

Aku mengerti dia bermain musik. Aku mengerti dia bernyanyi. Namun semua itu cukup kudengarkan tanpa harus kulihat. Sepanjang pensi, aku hanya sesekali menghadap panggung, itu saja jika aku penasaran dengan sesuatu yang kudengarkan dan hanya untuk melihat perwakilan dari kelasku yang menyumbangkan penampilan Modern Dance. Untuk selebihnya, aku hanya membaca sebuah novel tentang kehidupan baru. Kurasa novel ini dikirimkan Tuhan untuk membangkitkan semangatku. Hiburku dalam hati.

*Jrenggg
Kau begitu sempurna, dimataku kau begitu indah
Kau buat diriku akan selalu memujamu
*Jrenggg

Aku terkesiap, berhenti membaca, namun masih menatap novel yang masih berada dihadapanku.
Oh Tuhan …
Lagu itu …

Mataku langsung tertuju ke panggung. Mungkin bukan dia yang menyanyikan, namun suara akustik lagu itu begitu menusuk perasaanku. Entah apa alasannya, tubuhku mulai dingin dan merinding, wajahku terasa panas dan air mata mulai terbendung. Tanpa berkedip, aku melihat dari kejauhan tiga perempuan memainkan gitar akustik dan dua oranglainnya menyanyikan lagu itu hingga selesai. Lagu Sempurna... Lagu yang dulu sering dinyanyikannya untukku.

“Wiiih… Keren bangeeet.” Dinda terpesona dengan pandangan yang masih menuju panggung.
“Nadia, gimana menurutmu? Merekaaa…” Dinda tidak melanjutkan kata-katanya ketika ia membalikkan badan dan menatapku.
“Nad? Kau pucat sekali..” Dinda menyentuh keningku.
Aku tidak mempedulikannya dan mengembalikan pandangan pada sebuah novel.
“Kau sudah sarapan?” kali ini Dinda terlihat mencemaskanku.
“Tidak-papa.” jawabku tanpa menatap wajahnya.
“Aku tanya kau untuk menjawab sudah atau belum. Bukan untuk menjawab tidak-papa.” Dinda mulai protes.
Kepalaku mulai terasa pening. Tubuhku mulai terasa lemas. Aku menyerah. Aku-pun menatap Dinda. “Aku tidak enak badan. Aku hanya ingin ke UKS.” ungkapku dengan nada lirih.

Beberapa menit yang lalu Dinda telah mengantarkanku ke UKS. Namun kubiarkan ia kembali melihat pensi karena aku tahu ia sangat ingin melihatnya sampai selesai karena setiap pertunjukan yang disajikan rata-rata memang bagus dan membuat semua murid tertarik untuk melihatnya. Dinda-pun telah berjanji akan menjemputku jika pensi telah selesai.
Aku terbaring dengan kedua tangan yang kuletakkan diatas perut. Kupejamkan kedua mata dan ingin menenangkan pikiran.

Tuhan ..
Andai saja aku tidak memiliki emosi yang berlebihan.
Andai saja aku tidak memiliki ego yang besar.
Andai saja aku tidak munafik untuk aku ingin tetap bersamanya.
Andai saja aku tidak menghadirkan orang ketiga diantara kami berdua.
Mungkin saat ini dia masih disampingku. Memberikan senyum manisnya. Mengajarkan aku tentang arti dari sebuah mimpi, bahkan menyuruhku untuk memiliki banyak mimpi.
Ia selalu menyuruhku untuk menjadi sebuah burung yang dapat terbang bebas di angkasa. Bebas memiliki mimpi dan berusaha mewujudkannya.

Perlahan aku mulai membuka kedua mataku. Berharap keadaan akan membaik. Ya, aku mulai merasa tenang.

“Bagaimana keadaanmu?” suara itu terdengar jelas di telingaku.
Dengan masih terbaring, aku menoleh kearah kanan. Aku tertegun. Seseorang telah duduk di sebuah bangku didekat ranjang tempatku terbaring.
“Kkk..kau?” ucapku terbata-bata.
“Semoga kau baik-baik saja. Berubahlah. Jaga dirimu baik-baik.”
Setelah berbicara, ia mendorong kursinya ke belakang dan bangkit dari tempat duduknya. Ia berkata dengan lembut, namun tanpa senyum. Aku menatap punggungya dan melihatnya melangkah mendekati pintu, membukanya dan menutupnya kembali. Ia telah benar-benar pergi…

Aku menghembuskan nafas panjang. Kuraih novel yang tadi kuletakkan diatas meja, di sebelah ranjang. Kubuka kembali untuk melanjutkan membaca. Tepat dihalaman yang kubuka, terdapat judul bacaan, “Karena Hidup Harus Terus Berlanjut.” Ya, satu kalimat ini telah membuatku tersenyum. Kurasa memang sudah saatnya untukku kembali berdiri.

“Kreeek…” terdengar suara pintu yang dibuka.                                      
Kuurungkan niat untuk kembali membaca novel.
“Eh, udah bangun. Gimana? Udah mendingan? Pulang yuk!”
Nadia telah kembali, pertanda pensi telah usai.

Dinda membantuku bangun dari pembaringan, kemudian aku turun dari ranjang. Kupakai sepatu dan kuraih novel yang masih tergeletak di ranjang.
“Dinda, nih novelnya. Makasih ya!” ucapku seraya menyerahkan novel kearahnya.
Dinda tersenyum. “Aku yakin kau bisa menghadapinya.”
“Tentu.” jawabku singkat.

Sebagai teman baikku, kurasa Dinda mengerti apa yang telah terjadi padaku tanpa kujelaskan panjang lebar.

Tuhan …
Hari ini mungkin aku telah jatuh.
Hari ini aku memang letih.
Namun mulai hari ini aku benar ingin melupakannya.
Aku benar ingin menghilangkannya, dari pikiran dan perasaanku.
Karena tak akan selamanya aku seperti ini, karena hidup harus terus berlanjut ..

No comments:

Post a Comment